Pencarian
Bahasa Indonesia
  • English
  • 正體中文
  • 简体中文
  • Deutsch
  • Español
  • Français
  • Magyar
  • 日本語
  • 한국어
  • Монгол хэл
  • Âu Lạc
  • български
  • Bahasa Melayu
  • فارسی
  • Português
  • Română
  • Bahasa Indonesia
  • ไทย
  • العربية
  • Čeština
  • ਪੰਜਾਬੀ
  • Русский
  • తెలుగు లిపి
  • हिन्दी
  • Polski
  • Italiano
  • Wikang Tagalog
  • Українська Мова
  • Lainnya
  • English
  • 正體中文
  • 简体中文
  • Deutsch
  • Español
  • Français
  • Magyar
  • 日本語
  • 한국어
  • Монгол хэл
  • Âu Lạc
  • български
  • Bahasa Melayu
  • فارسی
  • Português
  • Română
  • Bahasa Indonesia
  • ไทย
  • العربية
  • Čeština
  • ਪੰਜਾਬੀ
  • Русский
  • తెలుగు లిపి
  • हिन्दी
  • Polski
  • Italiano
  • Wikang Tagalog
  • Українська Мова
  • Lainnya
Judul
Naskah
Berikutnya
 

Kisah tentang Mahākāśyapa (vegan), Bagian 2 dari 10

2024-07-24
Lecture Language:English
Details
Unduh Docx
Baca Lebih Lajut
Jika seorang biksu mengenakan jubah biksu – yang sangat bermartabat dan melambangkan pembebasan, melambangkan welas asih – dan hanya duduk di sana sambil mengunyah, menggigit, menggerogoti, atau melahap kaki insan-ayam, maka saya akan merasa sangat jijik. Saya pernah melihatnya sebelumnya di suatu negara Buddhis Hinayana, dan itu benar-benar pemandangan yang tidak ingin saya lihat lagi. Pada saat itu, saya masih menikah, seorang perumah tangga. Kemudian suami saya dan saya bepergian ke banyak negara Buddhis di Asia. Dia membawa saya ke negara-negara itu untuk berlibur karena dia tahu bahwa saya penganut agama Buddha yang saleh; di rumah saya, kami punya altar, dengan bunga dan buah untuk para Buddha. Dan dia bahkan menanam bunga dan memotong beberapa untuk saya untuk diletakkan di altar Sang Buddha. Ketika dia melihat beberapa bunga layu, dia menggantinya, dan dia menanam beberapa bunga di taman luar untuk tujuan itu.

Dan sekarang, sebagian orang berpendapat bahwa Sang Buddha telah menasihati agar para pengikut Buddha dapat memakan tiga jenis daging insan-hewan yang telah saya sebutkan di atas. Tetapi kemudian, Sang Buddha tidak mengizinkannya lagi karena para murid sudah dewasa. Mereka harus terbiasa dengan pola makan vegan, yang lebih baik, penuh welas asih, dan cocok untuk orang yang penuh kebajikan seperti seorang biksu. Bahkan dalam sutra lain atau mungkin sutra yang sama, ada biksu yang bertanya kepada-Nya apa yang harus dilakukan jika saat dia pergi meminta sedekah, beberapa umat memberikan daging insan-hewan dengan nasi atau sayuran lainnya. Apa yang harus dilakukan? Sang Buddha berkata, “Buanglah bagian dagingnya dan makanlah sisanya.”

Jadi secara keseluruhan, hampir di mana pun, Sang Buddha selalu menganjurkan pola makan welas asih, yaitu pola makan vegan. Nah, bahkan jika Sang Buddha tidak memaksa Anda untuk makan vegan, atau mengizinkan Anda makan tiga jenis daging insan-hewan, saya tidak akan mau. Mengapa kita melakukan itu ketika kita punya banyak makanan? Bahkan saat ini, ya Tuhan, kita tidak akan pernah bisa memakan semua makanan yang diproduksi. Belum berbicara tentang makanan tanpa rasa sakit yang saya terapkan, tetapi bahkan tidak sering. Jika Anda hanya bisa hidup dengan nasi beras cokelat dan wijen, itu juga tidak masalah.

Tapi Anda harus mengunyah nasi beras cokelat dan bubuk wijen dengan sangat baik saat di dalam mulut Anda, sampai hampir menjadi cair, sehingga bisa diserap secara alami. Karena itulah cara terbaik untuk memakan nasi beras cokelat dan wijen. Dan Anda seharusnya tidak makan nasinya dalam keadaan sangat panas, karena lebih baik jika dimakan dingin. Jika Anda memakannya dalam suhu antara empat derajat hingga 34 derajat Celsius, ada kemungkinan Anda akan terinfeksi bakteri yang tumbuh di dalamnya, dan itu akan membuat sakit perut. Jadi, jika Anda ingin makan jenis makanan itu atau jenis makanan apa pun dengan nasi, dengan mi, Anda seharusnya memakannya dalam keadaan sangat segar, atau menunggu sampai dingin dari lemari es. Terutama nasi dan mi. Itu untuk keamanan.

Jadi saya rasa kita tidak perlu berdebat tentang makan daging insan-hewan atau tidak makan daging insan-hewan, atau tiga jenis “daging murni” atau tidak. Seharusnya tidak, karena menjadi biksu sungguh berada pada posisi yang mulia, bagi saya. Dan teladan yang Anda berikan dari cara Anda menjalani hidup sangatlah besar bagi para umat. Mereka meniru Anda, belajar dari Anda, karena mereka menghormati Anda. Jadi kita ingin memberikan teladan yang sangat, sangat mulia; teladan yang bermartabat, yang sesuai dengan perwakilan para Buddha, atau/dan perwakilan Tuhan Yang Mahakuasa di Bumi.

Bayangkan bagaimana kedengarannya jika Anda adalah anak Tuhan – jika Anda mewakili Tuhan, jika Anda mewakili Sang Buddha – namun Anda duduk di sana, menunjukkan bahwa Anda tak peduli dengan penderitaan makhluk lain, yang masih hidup, berkoak-koak atau melenguh kemarin, atau beberapa jam sebelum Anda melahapnya. Itu hanya akal sehat yang normal. Bagi saya. Bagi Anda, tentu saja, saya pikir mungkin sama; sebagian besar dari Anda juga sama, kecuali beberapa yang baru atau yang levelnya sedikit lebih rendah punya perasaan yang kurang sensitif.

Tetapi bagi saya, meskipun ada makanan tanpa rasa sakit, saya sendiri bahkan tidak bisa memetiknya secara pribadi untuk dibawa masuk dan dimakan saat mereka masih hidup – di kebun, misalnya. Jika sudah dijual di pasar, mungkin saya bisa, mungkin. Namun demikian, saya merasa tidak nyaman. Saya memilih untuk tak memakannya. Saya lebih suka nasi beras cokelat dan wijen; cukup bernutrisi bagi saya untuk melakukan semua pekerjaan berat saya – secara mental, intelektual, dan semua jenis aspek lainnya juga. Tapi tetap saja, jika saya bisa hidup hanya dengan makanan yang sangat sederhana, maka saya akan sangat bahagia.

Ketika biji wijen matang, tanamannya sudah layu, mirip dengan kacang tanah. Ketika kacang sudah matang/siap, maka tanamannya menjadi layu dan sudah berwarna kuning atau cokelat, atau hampir tak ada daunnya lagi, tidak ada lagi kehidupan, ketika orang-orang memetik kacang – saya melihatnya ketika saya berada di pedesaan; rumah saya di pedesaan, jadi saya melihat banyak hal seperti itu. Sebagian besar seperti itu. Sama halnya dengan padi – semua daunnya menguning; sebagian besar daunnya sudah mati. Setelah tanaman padi melahirkan beras, maka tanaman itu tampaknya layu dan mati. Jadi bagi saya, tampaknya tak apa-apa untuk dimakan – hanya sebagai contoh. Sebelumnya, tentu saja, saya biasa pergi keluar dan memetik bunga dan memanen sayuran dan segala macam hal seperti itu, merasa bahwa saya baik-baik saja, bahwa saya tak makan daging insan-hewan, saya tidak makan telur, misalnya. Namun saat ini, saya bahkan tak bisa melakukan itu.

Ketika saya berjalan di taman, saya berjalan dengan hati-hati, saya tak ingin berjalan di atas rumput. Saya merasa sangat tidak sopan berjalan di atas sesuatu yang masih hidup. Dan saya selalu meminta maaf kepada rumput itu jika saya tidak sengaja menginjaknya. Saya meminta maaf kepada semua makhluk jika saya harus mendekat atau mungkin menyebabkan mereka takut atau terluka atau semacamnya. Jadi, saya bahkan tak bisa memetik apa pun. Saya bahkan tak bisa memetik bunga, buah – tidak lagi. Dan hal itu terjadi secara otomatis seperti itu. Ketika Anda menjadi vegan, setelah beberapa waktu, Anda tidak ingin menyakiti apa pun, bahkan rumput di kebun Anda atau di jalan. Anda hanya merasa itu tidak benar. Anda hanya merasa sangat respek dan sangat peduli dengan perasaan mereka. Anda sangat peka terhadap hal lain di sekitar Anda. Anda berjalan dengan penuh respek dan hati-hati kalau-kalau Anda melukai sesuatu, bahkan rumput di jalan.

Saya tidak terlihat seperti seorang biksu lagi, meskipun beberapa biksu masih menyeret saya untuk menyalahkan saya karena tidak mengenakan jubah biksu atau karena berbisnis dan sebagainya. Saya keluar dari kehidupan keluarga untuk mempersembahkan diri saya pada Buddha, kepada Tuhan – untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik. Dan saya meninggalkan kehidupan biksu untuk mempersembahkan diri saya kepada semua makhluk yang menderita. Oleh karena itu, saya tidak merasa bisa menyakiti apa pun. Bukan karena ada yang mengawasi atau saya memiliki sumpah atau apa pun. Itu semua terjadi secara otomatis. Sama seperti Anda tidak ingin menimbulkan gangguan, kekacauan dalam hidup mereka. Anda hampir bisa merasakan bahwa mereka semua bernapas, merasakan, dan berbicara kepada Anda; terkadang mereka berbicara, dan terkadang mereka menunjukkannya tanpa berbicara.

Suatu kali saya pernah berjalan ke sebuah taman, karena saya ingin pergi ke gudang. Jadi saya mengatur, membersihkan gudang, untuk masuk dan bermeditasi di malam hari. Saya pikir itu lebih dekat dengan alam daripada ruangan beton. Dan saya baru keluar sebelum matahari terbenam dan mengambil foto beberapa bunga liar di sudut taman. Dan ketika fotonya jadi, saya melihat warna ungu-merah muda yang indah, yang, di sudut itu, tidak ada sesuatu yang bisa menyebabkannya; dan itu adalah pertama kalinya. Kemudian saya bertanya, dan para peri mengatakan bahwa mereka ingin menunjukkan cinta dan rasa hormat mereka. Oh, saya sangat tersentuh. Saya masih memiliki foto itu. Mungkin suatu hari nanti Anda akan melihatnya dalam pengantar Antara Guru dan Murid. Jika saya melihatnya, saya akan membuat catatan untuk Anda perhatikan agar Anda tahu apa yang saya bicarakan. Mungkin saya bisa minta mereka mengirimkannya lalu kita dapat menyertakannya di sini untuk Anda lihat.

Para peri tanaman, kebanyakan mereka menyembunyikan diri di pojok karena mereka takut pada manusia. Kadang-kadang, saya juga, karena saya punya beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan. Menjadi seorang tokoh publik, Anda akan selalu menghadapi sesuatu. Bukan berarti saya menyalahkan manusia atau apa pun. Itu terjadi begitu saja, karena orang-orang terkadang tak bisa melihat menembus fisik Anda. Mereka hanya menilai Anda dari penampilan luar. Mungkin jika Anda tidak seperti mereka, kulit Anda tidak terlihat sama, Anda mengenakan pakaian yang tidak terlalu bagus dan mahal, Anda terkenal, atau orang-orang menyukai Anda, dll. Tidak apa-apa. Saya kira itu hanya sebagian kecil saja. Saya harap jumlahnya sedikit. Sebenarnya saya jarang keluar, di mana pun, bahkan sebelum retret. Saya hanya pergi bekerja lalu kembali ke gua saya atau ruangan apa pun yang saya miliki pada saat itu.

Photo Caption: Tiga Peri yang Cantik, Satu Salam Kompak yang Indah.

Unduh Foto   

Tonton Lebih Banyak
Semua bagian  (2/10)
1
2024-07-23
5260 Tampilan
2
2024-07-24
4031 Tampilan
3
2024-07-25
3898 Tampilan
4
2024-07-26
3288 Tampilan
5
2024-07-27
3220 Tampilan
6
2024-07-28
2892 Tampilan
7
2024-07-29
2847 Tampilan
8
2024-07-30
2761 Tampilan
9
2024-07-31
2884 Tampilan
10
2024-08-01
2754 Tampilan
Bagikan
Bagikan ke
Lampirkan
Mulai pada
Unduh
Mobile
Mobile
iPhone
Android
Tonton di peramban seluler
GO
GO
Prompt
OK
Aplikasi
Pindai kode QR, atau pilih sistem telepon yang tepat untuk mengunduh
iPhone
Android